Senin, 19 Februari 2018

"PELUANG DAN TANTANGAN HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA – AUSTRALIA TA.2009"

Pada 11 Maret 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapat kehormatan sebagai kepala Negara pertama di era Perdana Mentri Kevin Rudd untuk menyapaikan pidato di depan anggota sidang parlemen Australia di Canbera. Kevin Rudd terpilih menjadi perdana mentri pada November 2007 menggantikan John Winston Howard. Di depan Rudd dan anggota parlemen Australia SBY mengakui kemitraan Indonesia dan Australia saat ini dalam keadaan solid dan kuat, namun masih ada sejumlah tatanggan . Untuk itu diperlukan perubahan pola pikir pada beberapa warga Indonesia dan Australia. Persoalan yang terus menerus ada dalam hubungan kedua Negara adalah Steroptip lama yang membuat setiap pihak menggambarkan pihak lain dalam kesan buruk. Menurutnya ada orang Australia yang masih melihat Indonesia sebagai Negara otoriter atau dictator militer atau sebagai sarang ekstremis Islam, atau bahkan sebagai kekuatan ekspansionis. Disisi lain, ada orang Indonesia yang masih mengidap aussiephobia. Mereka yang percaya bahwa konsep white Australia masih ada. Selanjutnya presiden kedua Negara menyatakan kerjasama di empat bidang, yaitu: Politik, ekonomi, kesejahtraan rakyat, dan lingkungan hidup .
Lebih insentif lagi Rudd secara khusus meminta Indonesia dan Australia lebih menginsentifkan mengenai persoalan penyeludupan manusia ( people Smuggling) ke Australia melalui Indonesia. “Pembicaraan tersebut lebih efektif, secara teknik dan detail untuk mencapai tujuan yang lebih baik .Setelah menangapi himbauan itu, Presiden SBY menyatakan penanganan masalah penyeludupan manusia ke Australia harus dilakukan secara bersama-sama antara indonesia-Australia, Negara asal, dan lembaga-lembaga Internasional.

Dengan demikian, hubungan bilateral Indonesia dan Australia tergolong hubungan yang sangat unik, di satu sisi menjanjikan berbagai peluang kerjasama yang terkait, namun di sisi lain juga penuh dengan berbagai tantangan. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai perbedaan menyolok diantara kedua negara dan bangsa bertetangga, yang terkait dengan kebudayaan, tingkat kemajuan pembangunan, orientasi politik yang mengakibatkan pula perbedaan prioritas kepentingan. Tidak dipungkiri, perbedaan-perbedaan tersebut akan menciptakan berbagai masalah yang akan selalu mewarnai hubungan kedua negara di masa-masa mendatang. Adalah naif, jika ada yang berpendapat bahwa pada suatu titik hubungan kedua negara akan tercipta sedemikian rupa sehingga terbebas dari masalah. Sebaliknya data empiris menunjukkan bahwa hubungan kedua negara memiliki kecenderungan yang sangat fluktuatif, sehingga para pemimpin serta masyarakat kedua negara dituntut untuk selalu siap dengan berbagai solusi menghadapi setiap masalah yang muncul.
Sejak lepasnya Timor-Timur dari Indonesia pada tahun 1999, pemerintah kedua negara telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi ketegangan hubungan yang ditimbulkan dari 'campur tangan' Australia di bekas propinsi ke-27 Indonesia tersebut, dalam rangka mencapai suatu tahapan hubungan yang sehat, dewasa, dan berkesinambungan. Maka Seperti, kunjungan SBY diawali juga oleh kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid ke Australia, bulan Juni 2001 yang lalu diikuti oleh kunjungan Perdana Menteri John Howard ke Indonesia, bulan Agustus 2001. Pada kesempatan kedua kunjungan tersebut, kedua belah pihak menggarisbawahi pentingnya membangun rasa saling percaya dan saling pengertian serta mengembangkan dialog guna memperkuat ikatan antar dua bangsa. Kedua pemimpin juga menegaskan kembali keinginan kuat untuk memperbaiki hubungan melalui berbagai kerjasama di berbagai bidang.
Dalam kunjungan ke-dua ke Indonesia (Februari 2002), Perdana Menteri John Howard menyatakan bahwa Pemerintah Australia akan selalu siap membantu Pemerintah RI keluar dari krisis ekonomi sembari menegaskan dukungan penuh Pemerintah Australia terhadap integritas dan keutuhan wilayah RI, yang sekaligus mementahkan harapan sementara kalangan yang mengharapkan dukungan Australia untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa segelintir individu di berbagai belahan dunia, dan kemungkinan juga di Australia, beranggapan dan berharap agar Papua serta Aceh lepas dari Indonesia, tanpa menyadari dampak politis dan instabilitas keamanan yang akan ditimbulkan, terutama untuk kawasan.
Pemerintah Australia menaruh perhatian besar terhadap setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia. Salah-satu indikatornya adalah kedatangan Perdana Menteri John Howard bersama beberapa Kepala Negara/Pemerintah negara sahabat pada tanggal 19 - 20 Oktober 2004 yang lalu dalam rangka menghadiri pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sesuatu yang baru pertama kalinya terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Kunjungan tersebut merupakan kunjugan ke-sembilan John Howard selama menjadi Perdana Menteri Australia.


Selain pemerintah, berbagai kalangan di Australia juga menaruh perhatian besar kepada Indonesia yang terlihat dari berbagai sorotan masyarakat, terutama kalangan media terhadap Indonesia. Penyebab utamanya, antara lain: pertama, Indonesia dipandang sebagai negara besar, sekaligus tetangga terdekat Australia, sehingga setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia selalu diikuti dan berdampak (positif atau negatif) terhadap Australia; kedua, 31% rakyat Australia menganggap Indonesia sebagai ancaman terbesar seperti yang ditemukan oleh hasil survei 'the Australian Strategic Policy Institute' tahun 2001 dan kembali dipublikasikan pada tahun 2004 menjelang penyelenggaraan pemilihan umum Australia (9 Oktober 2004). Berkembangnya isu-isu sensitif antara kedua negara saat itu, antara lain Timor Timur, kasus migran gelap Kapal Tampa dan beberapa kasus serupa yang menggunakan Indonesia sebagai batu loncatan menuju Australia serta merebaknya tindakan terorisme yang memanipulasi ajaran Islam yang berpuncak pada serangan 11 September 2001 di New York disusul peledakan bom Bali, Hotel JW Marriot (2003), dan 2009 , serta Kuningan (2004), seolah-olah memberikan 'pembenaran' terhadap hasil survei tersebut; dan, ketiga, media Australia memiliki beban 'psikologis' atas tewasnya 5 (lima) wartawannya di Balibo, Timor Timur (1975) yang menurut mereka dilakukan oleh Kopassus, walaupun serangkaian penyelidikan yang dilakukan oleh Australia telah membantah tuduhan tersebut. Ketiga faktor di atas akan selalu mempersulit (inhibit) upaya-upaya Indonesia untuk membangun dan meningkatkan hubungan bilateral dengan Australia (Sherman Report).

BY.MABEL YANUAR,,,UNJANI INTERNATIONAL STUDENT

Tidak ada komentar:

"NASIP RAKYAT PAPUA DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)"

  Nasip Rakyat Papua Di Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) tidak terlepas dari sejarah masa lalu. Sebab, hari ini bangsa...