Pada 11 Maret 2009 Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mendapat kehormatan sebagai kepala Negara pertama di era Perdana
Mentri Kevin Rudd untuk menyapaikan pidato di depan anggota sidang parlemen
Australia di Canbera. Kevin Rudd terpilih menjadi perdana mentri pada November
2007 menggantikan John Winston Howard. Di depan Rudd dan anggota parlemen
Australia SBY mengakui kemitraan Indonesia dan Australia saat ini dalam keadaan
solid dan kuat, namun masih ada sejumlah tatanggan . Untuk itu diperlukan
perubahan pola pikir pada beberapa warga Indonesia dan Australia. Persoalan
yang terus menerus ada dalam hubungan kedua Negara adalah Steroptip lama yang membuat setiap pihak menggambarkan pihak lain
dalam kesan buruk. Menurutnya ada orang Australia yang masih melihat Indonesia
sebagai Negara otoriter atau dictator militer atau sebagai sarang ekstremis Islam,
atau bahkan sebagai kekuatan ekspansionis. Disisi lain, ada orang Indonesia
yang masih mengidap aussiephobia. Mereka yang percaya bahwa konsep white Australia masih ada. Selanjutnya presiden kedua Negara menyatakan
kerjasama di empat bidang, yaitu: Politik, ekonomi, kesejahtraan rakyat, dan
lingkungan hidup .
Lebih insentif lagi Rudd secara khusus
meminta Indonesia dan Australia lebih menginsentifkan mengenai persoalan
penyeludupan manusia ( people Smuggling)
ke Australia melalui Indonesia. “Pembicaraan tersebut lebih efektif, secara
teknik dan detail untuk mencapai tujuan yang lebih baik .Setelah menangapi
himbauan itu, Presiden SBY menyatakan penanganan masalah penyeludupan manusia
ke Australia harus dilakukan secara bersama-sama antara indonesia-Australia,
Negara asal, dan lembaga-lembaga Internasional.
Dengan demikian, hubungan bilateral
Indonesia dan Australia tergolong hubungan yang sangat unik, di satu sisi
menjanjikan berbagai peluang kerjasama yang terkait, namun di sisi lain juga
penuh dengan berbagai tantangan. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai perbedaan
menyolok diantara kedua negara dan bangsa bertetangga, yang terkait dengan
kebudayaan, tingkat kemajuan pembangunan, orientasi politik yang mengakibatkan
pula perbedaan prioritas kepentingan. Tidak dipungkiri, perbedaan-perbedaan
tersebut akan menciptakan berbagai masalah yang akan selalu mewarnai hubungan
kedua negara di masa-masa mendatang. Adalah naif, jika ada yang berpendapat
bahwa pada suatu titik hubungan kedua negara akan tercipta sedemikian rupa
sehingga terbebas dari masalah. Sebaliknya data empiris menunjukkan bahwa
hubungan kedua negara memiliki kecenderungan yang sangat fluktuatif, sehingga
para pemimpin serta masyarakat kedua negara dituntut untuk selalu siap dengan
berbagai solusi menghadapi setiap masalah yang muncul.
Sejak lepasnya Timor-Timur dari
Indonesia pada tahun 1999, pemerintah kedua negara telah melakukan berbagai
upaya untuk mengatasi ketegangan hubungan yang ditimbulkan dari 'campur tangan'
Australia di bekas propinsi ke-27 Indonesia tersebut, dalam rangka mencapai
suatu tahapan hubungan yang sehat, dewasa, dan berkesinambungan. Maka Seperti,
kunjungan SBY diawali juga oleh kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid ke
Australia, bulan Juni 2001 yang lalu diikuti oleh kunjungan Perdana Menteri
John Howard ke Indonesia, bulan Agustus 2001. Pada kesempatan kedua kunjungan
tersebut, kedua belah pihak menggarisbawahi pentingnya membangun rasa saling
percaya dan saling pengertian serta mengembangkan dialog guna memperkuat ikatan
antar dua bangsa. Kedua pemimpin juga menegaskan kembali keinginan kuat untuk
memperbaiki hubungan melalui berbagai kerjasama di berbagai bidang.
Dalam kunjungan ke-dua ke Indonesia
(Februari 2002), Perdana Menteri John Howard menyatakan bahwa Pemerintah
Australia akan selalu siap membantu Pemerintah RI keluar dari krisis ekonomi
sembari menegaskan dukungan penuh Pemerintah Australia terhadap integritas dan
keutuhan wilayah RI, yang sekaligus mementahkan harapan sementara kalangan yang
mengharapkan dukungan Australia untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa segelintir
individu di berbagai belahan dunia, dan kemungkinan juga di Australia,
beranggapan dan berharap agar Papua serta Aceh lepas dari Indonesia, tanpa
menyadari dampak politis dan instabilitas keamanan yang akan ditimbulkan,
terutama untuk kawasan.
Pemerintah Australia menaruh perhatian
besar terhadap setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia. Salah-satu
indikatornya adalah kedatangan Perdana Menteri John Howard bersama beberapa
Kepala Negara/Pemerintah negara sahabat pada tanggal 19 - 20 Oktober 2004 yang
lalu dalam rangka menghadiri pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
sesuatu yang baru pertama kalinya terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Kunjungan
tersebut merupakan kunjugan ke-sembilan John Howard selama menjadi Perdana
Menteri Australia.
Selain pemerintah, berbagai kalangan di
Australia juga menaruh perhatian besar kepada Indonesia yang terlihat dari
berbagai sorotan masyarakat, terutama kalangan media terhadap Indonesia.
Penyebab utamanya, antara lain: pertama, Indonesia dipandang sebagai negara
besar, sekaligus tetangga terdekat Australia, sehingga setiap perkembangan yang
terjadi di Indonesia selalu diikuti dan berdampak (positif atau negatif)
terhadap Australia; kedua, 31% rakyat Australia menganggap Indonesia sebagai
ancaman terbesar seperti yang ditemukan oleh hasil survei 'the Australian
Strategic Policy Institute' tahun 2001 dan kembali dipublikasikan pada tahun
2004 menjelang penyelenggaraan pemilihan umum Australia (9 Oktober 2004).
Berkembangnya isu-isu sensitif antara kedua negara saat itu, antara lain Timor
Timur, kasus migran gelap Kapal Tampa dan beberapa kasus serupa yang
menggunakan Indonesia sebagai batu loncatan menuju Australia serta merebaknya
tindakan terorisme yang memanipulasi ajaran Islam yang berpuncak pada serangan
11 September 2001 di New York disusul peledakan bom Bali, Hotel JW Marriot
(2003), dan 2009 , serta Kuningan (2004), seolah-olah memberikan 'pembenaran'
terhadap hasil survei tersebut; dan, ketiga, media Australia memiliki beban
'psikologis' atas tewasnya 5 (lima) wartawannya di Balibo, Timor Timur (1975)
yang menurut mereka dilakukan oleh Kopassus, walaupun serangkaian penyelidikan
yang dilakukan oleh Australia telah membantah tuduhan tersebut. Ketiga faktor
di atas akan selalu mempersulit (inhibit) upaya-upaya Indonesia untuk
membangun dan meningkatkan hubungan bilateral dengan Australia (Sherman
Report).
BY.MABEL YANUAR,,,UNJANI INTERNATIONAL STUDENT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar